Berkelana bukan hanya milik para petualang. Para santri Pondok
Pesantren Al Fatah, Temboro, Magetan, Jawa Timur juga suka melakukannya.
Tetapi berkelananya bukan sembarang kelana, sebab mereka mengemban misi
mulia, yakni menebarkan rahmatan lil ‘alamin.
Kebiasaan berkelana itu sudah sejak lama, bahkan sekarang sudah
menjadi ‘tradisi’. Artinya setiap santri ‘wajib’ melakukannya, sebagai
salah satu bagian dari pendidikan, disamping menyebarluaskan Islam.
Hanya saja, di Al Fatah sebutannya bukan berkelana, melainkan
‘keluar’ atau khuruj. Yaitu berdakwah di suatu tempat dalam beberapa
hari atau bulan. Tempat itu bisa di Magetan, atau tempat-tempat di
berbagai penjuru di Indonesia. Usai ‘keluar’ mereka kembali ke pesantren
untuk belajar lagi. Dalam tempo tertentu mereka ‘keluar’ lagi, lalu
kebali lagi. Begitu seterusnya
‘Keluar’ itu dilakukan secara berkelompok, terdiri dari 7 hingga 10
orang. Biaya perjalanan dan hidup ditanggung sendiri dengan cara
masing-masing anggota melakukan iuran. Besarnya tergantu jauh dan
lamanya berdakwah. Untuk menghemat biaya, biasanya mereka membawa bekal
sendiri, seperti beras, lauk pauk dan perkakas dapur untuk memasak.
Begitu pentingnya ‘keluar’ itu, bila benar-benar tidak punya bekal,
mereka membawa karak, yaitu sisa-sisa nasi yang sudah dikeringkan. Karak
itulah yang dimasak sebagai ganti dari beras. “Mereka yang seperti itu
di sini dikenal sebagai jamaah Karak.” ujar Muhammad Nurrahman, salah
seorang santri.
Biasanya, tempat yang mereka tuju adalah masjid, disitulah mereka
menginap sekaligus menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas. Misalnya,
shalat, dzikir, i’tikaf, tadarus Quran, dan ta’lim. Di sela-sela waktu,
mereka berdakwah dari rumah ke rumah milik kaum Muslimin di sekitar
masjid.
Hal yang ditekankan selama ‘keluar’, mereka dituntut khidmat, yakni
berakhlaq seperti Rasulullah. Tapi ada satu hal yang dilarang, yakni
berbicara tentang politik. “Agar tidak merusak suasana,” kata salah
seorang santri senior yang tak mau disebutkan namanya.
Nurrahman merasakan manfaat setelah ikut ‘keluar’. “Seperti orang
mengisi aki, iman kita jadi bertambah,” ujarnya. Di samping itu,
katanya, kesempatan itu sekaligus digunakan untuk mengamalkan ilmu yang
selama ini dipelajari di pesantren, “Agar ilmu itu berkembang,” tambah
santri yang lain.
Tholhah, santri asal Gunung Kidul Yogyakarta merasakan perubahan
dalam dirinya. “Dulu sangat malas ke masjid, sekarang begitu mendengar
adzan, rasanya ingin segera lari ke masjid,” tutur remaja yang sudah
tiga tahun menimba ilmu di Al Fatah itu.
Namun bagi santri yang belum pernah ‘keluar’ ada ganjalan tersendiri,
yaitu rasa malas. Itu diakui santri Alawi, santri asal Wonokromo
Surabaya. “Tetapi setelah beberapa kali ‘keluar’ rasanya nikmat sekali,”
ujarnya. Nikmatnya seperti apa? “Wah pokoknya nikmat lah,” katanya lalu
tertawa.
Nyaris Habis
Terletak sekitar 4 kilometer di belakang pabrik gula Gelodok, Al
Fatah termasuk pesantren tua, karena berdiri sejak jaman Belanda,
tepatnya pada 1 Mei 1939. Sebelum tahun 1990 perkembangan pesantren ini
sangat lambat. Pada mulanya, jumlah santri ‘hanya’ 400-an orang. KH
Mahmud, pimpinan Al Fatah kala itu membuat kebijakan baru, yaitu
menyuruh para santrinya untuk ‘keluar’. Kebijakan tersebut dilakukan
pada 1990 setelah KH Mahmud kedatangan seorang asal India yang bernama
Mustaqim. Tamu ini merupakan salah satu aktivis Jamaah Tabligh yang
sedang mengadakan perjalanan dakwah di Indonesia. Saat pulang ke India,
KH Mahmud diajak serta untuk melihat perkembangan dakwah di sana. Begitu
pulang ke Indonesia, saat itu juga kebijakan tersebut dilaksanakan di
Al Fatah.
Sesuatu yang baru itu seringkali membuat kontoversi. Dan begitulah
yang terjadi. Akibat kebijakan itu, Al Fatah dianggap telah menyimpang
dari ajaran Ahlussunnah waljamaah. Akibatnya, banyak orang tua kemudian
menarik anaknya. Bahkan saat itu jumlah santri Al Fatah nyaris habis.
Namun seiring perjalanan waktu, tradisi ‘keluar’ itu bisa diterima umat.
Hingga kini, jumlah santri Al Fatah mencapai lebih dari 7000 orang.
Desa Temboro sudah menjadi kampung santri, di setiap sudut akan dengan
mudah dijumpai masyarakat yang berkhidmat.
Sekarang, Al Fatah dipimpin oleh KH Uzairon, seorang yang ditokohkan
di Jamaah Tabligh, khususnya di Jawa Timur. Setiap malam Jum’at ribuan
aktivis JT dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul di sini untuk
mendengarkan tausiyah-tausiyah Gus Ron, begitu ia biasa disebut
jamaahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar